Sistem Ada untuk Mengatur Manusia, Bukan Menggantikan Kemanusiaan
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku mendapatkan surat peringatan I (SP I) dari fakultas. That gloomy day terjadi pada 12 Oktober 2021. Jika kau tanya rasanya, bayangkan kau sedang sendirian di rumah saat malam hari lalu tiba-tiba listrik mati. Jantungmu mencelos. Pikiranmu tak karuan. Perasaanmu campur aduk. Kau bergeming untuk sementara waktu, berusaha mencerna apa yang terjadi. Yah, begitulah rasanya.
Tatkala aku membaca subjek surel--tidak, maksudku saat aku membaca nama pengirim surel--aku sudah bisa menebak isinya. Dan benar saja. Surel itu tampak di-scan dengan tergesa-gesa karena posisinya yang miring. Tapi itu bukanlah satu-satunya yang menggangguku saat itu. Dengan mood yang terhempas jatuh lalu pecah berkeping-keping, aku membaca isi surel itu. Beginilah penggalan isinya:
Aku melewatkan paragraf pertama lalu meloncat ke poin-poin numerik. Aku mengangguk dengan tegas bahwa tersisa poin 5 saja yang hampir usai dan aku cukup yakin untuk tidak mendapatkan SP II karenanya. Seharusnya aku berhenti membaca setelah itu. Seharusnya tidak kuteruskan. Begitu aku membaca paragraf kedua, emosiku meluap. Aku bisa merasakan raut wajahku berubah. Kepingan mood yang berserakan di lantai memilih untuk menjadi serpihan debu begitu merasakan adanya perubahan suasana yang mencekam.
Bagaimana tidak?
Coba perhatikan.
Lebih serius katanya? Jadi mereka kira mendapatkan IPK cumlaude itu adalah kelakar di siang bolong? Mereka kira tidak pernah mengulang mata kuliah adalah sebuah bercandaan? Mereka pikir aku yang terlunta-lunta dan terabaikan oleh dosen pembimbingku sendiri setelah semua usaha kerasku dalam penelitian itu tidak pernah serius kupikirkan dan kubenahi sendiri? Aku yang tidak pernah neko-neko, tidak pernah menuntut penurunan UKT karena kupikir pasti sia-sia pada akhirnya, tidak pernah melawan dosen, mengikuti kuliah dengan sungguh-sungguh, mengerjakan tugasku dengan baik, apa itu membuatku tampak seperti seorang mahasiswa urak-urakan yang gemar abai pada tanggung jawab?
Huh, maaf. Membahas sistem memang selalu emosional. Well, aku paham para petugas akademik fakultas tidak mengenalku dan aku tahu semua diksi dalam SP I selamanya tidak akan berubah sampai angkatan 2100. Tapi, tolonglah. Jangan jadikan SP I sebagai pengingat, tetapi jadikan sebagai wadah bertanya bagi pihak fakultas kepada mahasiswa yang bersangkutan. Alih-alih mendikte mahasiswa supaya lebih serius dalam menempuh studi, coba tulis:
Sehubungan dengan itu, kami ingin mengetahui beberapa hal.
Apakah kendala tebesar yang membuat Saudara tertinggal atau tidak memenuhi salah satu poin di atas?
Bagaimana interaksi dengan dosen pembimbing akademik?
Bagaimana interaksi dengan dosen pembimbing skripsi?
Mohon membalas surat ini dengan masalah yang Saudara hadapi supaya bisa kami bantu benahi.
Bagaimana? Bukankah lebih manusiawi bagi setiap jiwa yang membacanya? Bukankah lebih menenangkan? Dengan diberi pertanyaan seperti itu, sistem akan tahu akar masalah dari si mahasiswa. Mendapat SP I bukanlah kondisi ideal bagi kami. Pasti ada alasan bagi setiap kondisi yang tidak ideal. Itulah yang kami butuhkan, ditanyai dan ditawari bantuan. Setidaknya, berikan semangat dan motivasi. Bukan, sama sekali bukan peringatan dan perintah tak berdasar yang menjatuhkan mental.
***
Komentar
Posting Komentar