 |
(c) Della/Wisdom Park UGM |
Kamu tahu? Suasana terbaik bagiku adalah malam sekaligus hujan lebat. Gemericik air di atap memanjakan telinga. Nuansanya menyejukkan. Di saat-saat seperti itu, yang kulakukan hanyalah membuka laptop dan mulai menulis atau membuka buku dan membaca atau mendengarkan musik kesukaan. Atau tidur. Siapa yang menolak tidur di bawah selimut hangat sementara badai yang menyenangkan sedang mengamuk di luar?
Aku seperti orang kebanyakan. Menyukai hujan. Aku sama seperti kebanyakan orang--mungkin kamu juga--yang hanya perlu tergopoh mengangkat jemuran, menyelamatkan helm dan kendaraan, atau menyelamatkan sepatu di emperan, saat hujan. Setelah itu--kalau hari belum gelap--kita dapat menyeduh kopi atau indomie. Menikmatinya di ruangan tertutup dengan embun di jendela yang menunggu untuk diusap. Atau mengobrol. Menyenangkan sekali bersahut-sahutan seraya meninggikan suara untuk melawan dentuman-dentuman dari langit itu.
Tapi, tidak semua orang bernasib baik begitu. Tidak semua orang punya ruang tertutup. Lebih tepatnya, sih, tidak semua orang punya rumah. Aku baru menyadarinya setelah berada di Jogja, kota besar tempatku menimba ilmu sehabis sekolah menengah. Di tahun-tahun awal kuliah, setidak-tidaknya aku menemukan dua orang di Jalan Teknika, sebelah Utara Fakultas Biologi UGM, fakultasku. Yang satu laki-laki dengan gerobaknya. Yang satunya lagi laki-laki dengan karungnya. Laki-laki bergerobak lebih muda dibandingkan yang berkarung, aku melihat sekilas dari perawakan mereka.
 |
Seorang laki-laki dengan karungnya di Jalan Kesehatan. |
Kemudian di sepanjang Jalan Kesehatan, sebelah Timur Fakultas Teknik UGM, setidak-tidaknya ada satu orang laki-laki yang meringkuk di trotoar. Lalu belakangan ini, di sepanjang trotoar Pascasarjana UGM, sebelah Utara Fakultas Teknik, ada seorang perempuan duduk bersama dua orang anaknya--yang satu masih dalam gendongan, satunya lagi usia taman kanak-kanak. Aku yakin perempuan itu tidak punya rumah lantaran di malam hari pun ia masih duduk di tempat yang sama.
Beranjak ke Jalan Persatuan, di trotoar sepanjang Fakultas Farmasi sampai Kompleks Fakultas MIPA-Biologi-Geografi, aku kerap melihat seorang nenek yang duduk di beton pagar. Tubuhnya bungkuk dan kakinya disilangkan, entah kebiasaan atau untuk menyembunyikan pakaiannya yan lusuh. Tapi dilihat dari sisi mana pun, pakaian si nenek memang seadanya. Ia senantiasa duduk ditemani sebotol air mineral dan bungkusan makanan yang entah diberikan oleh siapa.
Melewati Jalan Yacaranda sampai Jalan Kemuning, sebelah Barat Sekolah Vokasi UGM, aku terkadang melihat seorang laki-laki yang rela berada di titik terendah dari kehidupan yang kubayangkan. Ia duduk besila di pinggir jalan menghadap aspal, membungkukkan tubuhnya ke depan sampai dada dan perutnya menempel di aspal, dan menjulurkan tangan kanannya selurus mungkin dengan telapak yang menengadah. Di depannya, kendaraan bermotor melaju seolah tidak melihat ada manusia yang memohon dengan harga diri terinjak-injak. Atau ia tidak lagi berpikir soal harga diri dalam keadaan lapar? Aku tidak tahu. Aku belum merasakannya. Dan aku merasa malu lantaran tidak ingat selalu bersyukur atau tidak atas keadaanku. Sekaligus merasa bersalah lantaran tidak bisa melakukan apa pun.
 |
Seorang perempuan bersama dua anaknya di sebelah Selatan Pascasarjana UGM. |
Bulan-bulan terakhir di tahun 2020, hujan mengguyur kota Jogja. Aku menyukainya, apalagi di malam hari. Lalu di satu malam yang dingin akibat deras hujan, aku bersiap akan tidur ketika pikiran itu datang.
Para tunawisma itu, di mana mereka sekarang?
Di mana mereka berteduh?
Saat malam semakin larut, di mana mereka tidur?
Bisakah mereka tidur?
Tidak cukupkah deru kendaraan mengusik tidur mereka, sekarang ditambah dengan hujan dan dingin?
Aku ingat tatkala masih kecil, di akhir pekan aku dan orang tuaku menginap di rumah nenek yang letaknya tepat di tepi jalan raya utama. Aku tidak bisa tidur lantaran kendaraan bermotor dan pengemudinya tidak punya hati. Aku mengeluh dan merajuk kepada Ibu.
Para tunawisma itu, kepada siapa mereka berkeluh kesah?
Cukupkah bercerita kepada diri sendiri sementara diri sudah cukup tertekan?
Andai dapat mendekat, aku yakin akan merasakan nafas berat mereka atas hidup yang begitu-begitu saja. Aku hanya bisa membayangkan, mereka setiap harinya berpikir bisa makan atau tidak, bukan mau makan apa. Pun bayanganku tentang kehidupan mereka tidaklah berarti apa-apa, kecuali aku bisa mengubah dunia yang dingin dan serba tidak pasti itu.
***
Tunawisma Dalam Angka
Saat tulisan ini dibuat, aku menyadari bahwa penting untuk menyelipkan selayang pandang mengenai tunawisma dari bingkai media dan kacamata peneliti. Semalaman aku menelusuri laman badan pusat statistik (bps.go.id), katadata.co.id dan data.go.id, namun hasil pencarianku sungguh tidak memuaskan.
 |
BPS dengan kata kunci 'tunawisma'
|
 |
BPS dengan kata kunci 'gelandangan' |
Alih-alih menampilkan data kuantitatif, hasil pencarianku di BPS hanya menunjukkan cerita saat sensus berlangsung. Entah data tunawisma/gelandangan memang tidak ada di BPS, atau aku yang tidak dapat menemukannya. Bagi teman-teman yang membaca tulisan ini, barangkali kalian tahu di mana mencari data kuantitatif tunawisma terbaru di Indonesia, khususnya Yogyakarta, bisa menghubungiku (alamat surel ada di profil.)
 |
katadata.co.id dengan kata kunci 'tunawisma' |
 |
katadata.co.id dengan kata kunci 'gelandangan' |
Hasil pencarianku di laman katadata.co.id juga sama mengecewakannya. Bahkan, hasil pencarian yang muncul tidak relevan dengan kata kunci.
 |
data.go.id dengan kata kunci 'tunawisma'
|
 |
data.go.id dengan kata kunci 'gelandangan' |
Laman data.go.id lebih sedikit menampilkan hasil pencarian. Bahkan dengan kata kunci 'gelandangan', salah satu hasil pencarian memuat data razia PGOT. Tidak ada penjelasan yang menyertainya. Aku tidak tahu bagaimana regulasi yang terjadi setelah razia. Apakah para tunawisma itu diusir dari satu tempat lantaran tempat itu akan digunakan untuk pembangunan, lalu mereka bermukim di tempat lain? Atau apakah mereka digiring ke tempat penampungan khusus PGOT? Setelah mencari-cari dan membaca-baca lagi, aku akhirnya menemukan secercah cahaya. Terus baca tulisan ini untuk mengetahuinya.
Karena tak kunjung menemukan data, aku pun beralih ke jurnal penelitian. Aku menemukan satu jurnal yang menyatakan bahwa mengumpulkan data tunawisma adalah pekerjaan yang sulit. Terlebih lagi ada beberapa kategori seseorang atau sekelompok orang dikatakan sebagai tunawisma di negera-negara berkembang menurut Speak (2019).
Pertama, 'rough sleeping'. Kelompok ini adalah yang kerap kita lihat tidur di jalanan, di bawah jembatan, atau di tempat-tempat umum. Kelompok ini bertahan sementara (temporary), mengikuti musim (seasonal), atau dalam jangka panjang (long term). Para tunawisma yang kudeskripsikan di atas termasuk dalam kelompok ini. Kedua, kelompok yang tinggal di trotoar (pavement dwelling). Umumnya, mereka menggunakan barang-barang seadanya untuk 'berlindung' di trotoar, seperti kain dan plastik. Kelompok ini menetap untuk jangka waktu pendek-sedang. Ketiga, kelompok yang berjongkok (squatting) di bangunan terlantar yang sama. Kelompok ini menetap untuk jangka waktu pendek-sedang. Keempat, kelompok yang tinggal di tempat berbahaya (di perahu atau benda mengambang lainnya) tanpa keamanan yang memadai. Umumnya mereka tinggal dalam jangka waktu panjang sampai permanen. Kelima, kelompok yang tinggal di kamp pengungsian tanpa ada kemungkinan untuk kembali ke rumah.
Dari kelima kategori tersebut, definisi tunawisma yang digunakan untuk didata meliputi: (1) lokasi, seperti di jalanan, di bawah jembatan, di bangunan terlantar, dan di lokasi berbahaya; (2) ketiadaan keamanan, seperti tidak ada tempat tinggal tetap dan tinggal di tempat yang mengambang; dan (3) kualitas tempat tinggal atau layanan, seperti ketersediaan air. Di beberapa negara, definisi tunawisma dikerucutkan lagi menjadi kelompok orang yang tidak memiliki rumah, untuk tujuan pengalokasian perumahan oleh negara.
Nah, kembali ke pernyataan Speak (2019) bahwa mengumpulkan data tunawisma itu sulit. Dikatakan sulit, sih, masuk akal. Pasalnya, dari kelima kategori di atas, hanya poin pertama sampai ketiga yang dijadikan dasar untuk perhitungan tunawisma di beberapa negara. Hal tersebut menghasilkan data statistik yang kurang valid (valid=nilai yang mendekati kebenaran) karena diperkirakan banyak tunawisma yang tidak masuk hitungan atau bahkan tidak ditemukan. Hal sebaliknya dapat terjadi pada kelompok orang yang bermigrasi, seperti suku migran Alto Plano di Bolivia. Suku tersebut bermigrasi ke kota pada musim panas dan tinggal di jalanan sampai kembali pulang ke rumah. Mereka tidak masuk kategori tunawisma karena sejatinya mereka masih punya rumah. Namun, jika tidak teliti, kegiatan sensus dapat mencatat mereka sebagai tunawisma.
Kendati demikian, ada satu lagi hal menarik yang kutemukan di jurnal berjudul 'The State of Homelessness in Developing Countries' ini. Salah satu faktor pendorong seseorang tidak memiliki tempat tinggal adalah kemiskinan struktural. Topik mengenai kemiskinan struktural ini pertama kali kutemukan berseliweran di beranda twitter, namun konteksnya bukan tunawisma melainkan pendidikan dan anak-anak. Sungguh menarik untuk dibahas (aku berencana untuk membahasnya di tulisanku selanjutnya. Yeay!). Sementara itu, gambaran kemiskinan struktural dalam konteks tunawisma ini adalah sebagai berikut.
Sebagian besar mata pencaharian di desa identik dengan bertani atau beternak dan kegiatan tersebut sangat bergantung pada iklim. Perubahan iklim dapat menyebabkan gagal panen, misalnya akibat paceklik berkepanjangan. Selain itu, di beberapa negara, petani-petani kecil diusir dari lahan mereka atau lahan itu dibeli dalam jumlah murah sehingga mereka kehilangan mata pencaharian. Untuk bertahan hidup, salah satu anggota keluarga itu (umumnya anak laki-laki usia produktif) pergi mengadu nasib ke kota dengan harapan dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
Namun, ia belum tentu mendapat pekerjaan dengan upah layak. Terlebih lagi jika di desa ia tidak sekolah (kembali lagi ke pendidikan, nih), maka persaingan dengan para lulusan sekolah/universitas untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah layak akan semakin sengit. Upah yang tidak seberapa itu harus dikirimkannya ke desa untuk keluarga di sana sekaligus digunakan di kota untuk keperluan hidupnya. Untuk memenuhi keduanya, ia perlu menekan pengeluaran dengan cara tidak menyewa tempat tinggal lalu memilih untuk tidur di jalanan.
Selain kemiskinan struktural, bencana alam dan penggusuran juga termasuk faktor pendorong kemunculan banyak tunawisma. Kamu bisa membacanya lebih lanjut di
sini.
Aku nyaris menyerah mencari data tunawisma ketika akhirnya aku menemukannya. Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Manangin (2019) telah menyediakan data mengenai gelandangan (tunawisma) dan pengemis pada tahun 2008 (sebanyak 880 jiwa), tahun 2009 (sebanyak 1.248 jiwa), tahun 2010 (515 jiwa), tahun 2011 (451 jiwa), tahun 2012 (247 jiwa), tahun 2014 (648 jiwa) dan tahun 2017 (167 jiwa, dengan rincian 81 jiwa di wilayah Kabupaten Gunung Kidul; 34 jiwa di wilayah Kabupaten Sleman; 19 jiwa di Kabupaten Bantul; 15 jiwa di Kota Yogyakarta; dan 13 jiwa di Kabupaten Kulon Progo.)
Sebenarnya aku agak sangsi dengan angka di atas karena data tersebut menunjukkan jumlah gelandangan dan pengemis di Jogja. Sementara yang aku fokuskan dalam tulisan ini adalah gelandangan (tunawisma) yang tidak punya rumah. Definisi pengemis menurut Perda DIY No. 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis dalam pasal 1 ayat 6, adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Gelandangan yang kulihat di sekitar kampusku tidak masuk deskripsi itu (kecuali seorang laki-laki yang merapatkan tubuhnya ke aspal.)
Tapi terlepas dari 'ketidakmurnian data gelandangan' itu, kita tidak bisa menutup mata atau menyangkal fakta bahwa mereka masih ada. Nyatanya, masih banyak napas hampa di sekitar kampusku. Itu sudah cukup membuktikan eksistensi mereka di dunia ini.
***
Hal-hal yang Telah dan Sedang Dilalui di Yogyakarta
Aku akan sedikit berkilas balik ke tahun saat pertama kalinya aku mendokumentasikan dan menyebarkan kesadaran mengenai keberadaan tunawisma. Saat itu paruh kedua tahun 2019, sekitar Bulan September. Aku mengikuti kegiatan volunteering dan salah satu syarat pendaftarannya adalah mengunggah video tentang...kepedulian terhadap sesama (aku tidak ingat, huft). Aku pun memutuskan untuk mendokumentasikan 'wajah jalanan' di sekitar kampusku. Aku berjalan kaki seraya mengambil potongan-potongan video berisi para tunawisma itu. Begitu mengunggahnya ke media sosial, sambutan baik kudapatkan dari rekan-rekanku. Mereka juga sama sepertiku, ternyata, memiliki kepedulian terhadap sesama.
Tapi apakah peduli saja sudah cukup?
Aku lupa tepatnya kapan. Tiba-tiba saja gagasan dalam otakku menemukan kembarannya. Seorang kawan mengangguk setuju dan sangat bersemangat ketika aku memaparkan gagasan tentang membagikan makanan ke para tunawisma. Berbekal selembar uang 50k, akses ke pasar tradisional, dan bantuan dari ibu kos, kami menghasilkan dua plastik besar berisi total 50 bungkus nasi dan membawanya keliling Jogja. Yang dimaksud keliling Jogja adalah dari Jalan Kaliurang KM 7, turun ke Selatan mengitari UGM, lalu melaju ke tugu dan berakhir di Malioboro.
Kami berhenti setiap kali melihat tunawisma, pemulung, pengemis, bahkan tukang becak. Saat itu siang/sore, aku lupa. Tunawisma yang biasa kulihat di sekitar kampus tidak ada. Asumsiku, ia pergi berkeliling untuk mencari uang. Yah, saat itu kurasa memang belum rejekinya.
Menulis ini membuatku teringat pada perkataan kawanku itu. Aku lupa ada kejadian apa sampai ia mengatakannya. Ia bilang, "Orang-orang sebenarnya juga peduli (kepada tunawisma), tapi mereka ndak tau mau melakukan apa."
Aku pun tersadar. Benar. Kita semua pasti peduli karena kita sama-sama manusia. Hanya saja cara menunjukkan kepedulian itu yang belum ditahui. Memberikan makanan--seperti yang kami lakukan--belum tentu disanggupi semua orang. Belum tentu pula mereka punya waktu. Aku pun kebetulan saat itu sedang punya uang dan waktu. Hanya saat itu. Sekali. Tidak kontinu. Dampak apa, sih, yang sudah kutinggalkan? Meninggalkan mereka dengan perut kenyang yang hanya untuk semalam? Sudah merasa cukup? Sudah merasa puas? Padahal banyak tunawisma yang terlewat. Aku yakin. Padahal mereka juga harus banting tulang atau (dalam kasus pengemis) mengharap belas kasih orang lain untuk makan lagi di hari-hari berikutnya. Yang kulakukan tidak berdampak panjang. Hal tersebut membuatku ingin menciptakan semacam penampungan tunawisma dengan segala kegiatan pelatihan di dalamnya. Supaya mereka setidaknya punya keterampilan (skill) dan bisa punya pekerjaan tetap. Tidak perlu membayangkan kerja kantoran, cukup kerja yang dapat upah. Setidak-tidaknya itu lebih baik dibandingkan menganggur dan menunggu.
Dan setidaknya mereka punya rumah, tempat berteduh dari hujan, seperti kebanyakan orang beruntung lainnya. Ini adalah satu dari sekian daftar yang ingin kuwujudkan dengan tanganku sendiri di kemudian hari. Namun tampaknya, pemerintah Yogyakarta telah mengambil langkah duluan.
Dari
jogjapolitan.harianjogja.com, aku baru mengetahui bahwa ada semacam penampungan bagi Forkomaba (Forum Komunikasi Masyarakat Arus Bawah) yang disediakan oleh Pemda Yogyakarta bagi para gelandangan (tunawisma) dan pengemis. Namun dari artikel tersebut, ada cerita ketidaknyamanan tentang penampungan itu. Kamu bisa membacanya di
hyperlink dan berikan pendapatmu di kolom komentar, ya. Namun, kendati demikian, aku saaaaaaangat lega ada penampungan semacam ini. Persis seperti keinginanku. Terlebih lagi penampungan itu dibangun oleh pemerintah daerah, kelompok yang punya kuasa dan segalanya di satu wilayah. Pasti jauh lebih mudah bagi mereka ketimbang aku yang belum punya kematangan rencana.
Selain penampungan bagi Forkomaba, hasil pencarianku terkait 'gelandangan di Yogyakarta' sebatas tentang penertiban dan razia. Dua hal itu memang telah diatur dalam Perda DIY No. 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Dalam satu
artikel, dilaporkan bahwa per tanggal 12 Mei 2020 terjaring 20 gelandangan di Yoyakarta. Saat itu jumlah gelandangan meningkat lantaran mendekati Hari Raya Idul Fitri. Sebagian dari mereka dibawa ke penampungan, sebagian lainnya dipulangkan ke daerah asal. Aku cukup lega mengetahui bahwa penampungan gelandangan masih berfungsi sejak 2016. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di pikiranku.
Kok tunawisma di sekitar kampusku tidak ditangani?
***
Zrass... (bunyi hujan)
Di tahun ketigaku kuliah, aku melihat laki-laki berkarung yang awalnya menetap di Jalan Teknika, kini duduk di trotoar Jalan Bhinneka Tunggal Ika. Belakangan aku mengetahui bahwa ia sering berpindah tempat. Di pagi hari ia duduk di trotoar Jalan Bhinneka Tunggal Ika, lalu di siang dan sore hari ia berada di Jalan Teknika. Masih dengan karungnya, ia duduk diam seraya mengisap rokok. Tatapannya kadang menunduk, kadang menatap lurus ke depan.
Aku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya?
Kehidupan seperti apa yang telah dilaluinya hingga berakhir dengan 'tidak punya apa-apa dan siapa-siapa'?
Kehidupan seperti apa yang ingin dia miliki?
Bagaimana rasanya melihat berlusin-lusin orang setiap hari dengan kehidupan yang menjanjikan?
Di tahun ketigaku kuliah, aku melihat bertambahnya orang-orang yang menggelar alas lalu duduk di sepanjang Jalan Teknika, sendirian atau berdua-dua. Aku melihat seorang perempuan bersama karungnya. Ia mengenakan jilbab di atas daster lengan pendeknya. Aku melihat seorang laki-laki yang sedang makan di trotoar.
Di antara mereka, beberapa terlihat membawa anak-anak. Aku melihat seorang anak yang menenteng keranjang berisi barang dagangannya dan menjajakannya di lampu merah. Aku melihat seorang anak tidur lelap di antara bising kendaraan.
 |
Seorang anak bersama keranjang dagangannya di simpang empat Jalan Kaliurang-Jalan Teknika-Jalan Persatuan-Jalan Agro |
Bagaimana nasib mereka di kemudian hari?
Apakah berakhir sama seperti orang tuanya?
Masih di tahun ketigaku kuliah, aku melihat laki-laki bergerobak yang awalnya menetap di Jalan Teknika, kini berada di Jalan Kesehatan. Saat awan hitam terlihat berarak, laki-laki itu telah mengenakan jas hujan tipisnya. Gerobaknya ditutupi dengan lembaran kedap air. Ia tidak beranjak. Rintik hujan yang turun tampaknya tidak memengaruhinya lagi.
Sedangkan aku... aku mempercepat laju motorku untuk pulang ke rumah.
-Dell-
Komentar
Posting Komentar